Sangat Diharapkan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono diakhir jabatanya tahun 2014 membantu menolong para petani Merbau selatan yang tanah mereka dirampas PTPN III Kata Alimudin yang Ketua LSM Dialog di Rantauprapat
Masyarakat Kelompok Tani Bukit Perjuangan, Kelurahan
Aek Paing Kec. Rantau Utara Kab. Labuhan Batu. Tanah rakyat seluas 92 Ha
marupakan milik 154 KK telah dirampas oleh PTPN III Perkebunan Janji
pada tahun 1968.
Pada tahun 1942 oleh Kominco – semacam kepala kampung di zaman
Jepang – para penduduk diperintahkan untuk membuja hutan negara bebas
agar ditanami padi, jagung, ubi, kedelai dan tanaman pangan lainnya
untuk keperluan negara dan rakyat di masa tersebut. Setelah masa
kemerdekaan, rakyat setempat tetap mengusahakan lahan tersebut dengan
menambahkan tanaman pangan, palawija serta tanaman keras lainnya
seperti karet, kelapa, pinang,durian, rambutan, cempedak dan
buah-buahan lainnya.
Di tahun 1968 pihak Perkebunan Janji menggusur paksa masyarakat
Bukit Perjuangan dari atas tanah yang diusahai dan dihuni sejak zaman
Jepang tersebut.
Dengan dalih demi pembangunan, tanah tersebut harus diserahkan
kepada pihak Perkebunan Janji. Barang siapa yang tidak mau menyerahkan
tanahnya, mereka dtituduh sebagai penghalang pembangunan dan dinyatakan
sebagai BTI/PKI – wajib disembelih.
Kemudian Kelompok Tani Suka Damai Desa Marbau Selatan kec. Marbau
Kab. Labuhan
batu. Tanah seluas 120 Ha merupakan milik 70 KK telah dirampas oleh
PTPN III Merbau Selatan pada tahun 1968. Di tahun 1954 sebanyak 70 KK
membuka hutan seluas 120 Ha. Rakyat setempat mengusahakan tanaman pangan
dan karet.
Di tahun 1959 hasil tanaman karet sudah mulai dideres/dipanen.
Dalam pelaksanaan penderesan ini, dua orang pejabat pemerintah setempat
- Asisten Wedana bernama Abbas Jamil dan kepala kampung bernaman Kasbi
- datang untuk meninjau. Tindak lanjut dari kunjungan pejabat
pemerintah lokal tersebut adalah diterbitkannya surat Kepemilikan Kebun
yang menandai hak milik rakyat. Sementara, Perkebunan Marbau Selatan –
yang sekarang menjadi PTPN II Marbau Selatan – arealnya jauh dari
lahan masyarakat. Batasnya adalah rawa-rawa yang sangat luas.
Namun di tahun 1968, pihak PTPN III Marbau Selatan mulai melakukan
penyerobotan tanah tersebut dengan paksa disertai intimidasi oleh
aparat keamanan. Dengan dalih untuk pembangunan, tanah tersebut harus
diserahkan kepada PTPN III Marbau Selatan. Masysarakat juga diancam
dengan tuduhan BTI/PKI jika tidak mau menyerahkan dan diintimidasi
untuk disembelih.
Adalagi Tani Sinar Jadi/Babussalam Desa Marbau Selatan Kec. Marbau
Kab. Labuhan Batu. Tanah seluas 250 Ha merupakan milik 110 KK telah
dirampas oleh PTPN III di tahun 1968. Pada awalnya, masyarakat Desa Babussalam adalah para transmigran
dari Pulau Jawa. Mereka adalah korban DI/TII Karto Suwiryo yang terusir
akibat konflik tersebut. Pada tahun 1955/1956 sebanyak 500 KK
dipindahkan oleh Jawatan Transmigrasi ke Desa Babussalam Kec. Gaya Baru
Marbau Kab. Labuhan Batu. Oleh Jawatan Transmigrasi, setiap KK
diberikan bantuan berupa rumah dan pekarangan seluas 0,25 Ha, lahan
persawahan seluas 1 Ha dan jaminan sandang-pangan selama 3 tahun.
Namun lahan persawahan tersebut tidak mampu diolah. Hal ini
disebabkan kondisi areal berupa daerah genangan air jika terjadi
banjir. Oleh pemerintah setempat, jaminan bagi warga diperpanjang
hingga 7 tahun. Oleh kepala rombongan transmigran, masyarakat
mengusulkan/bermohon kepada Jawatan Transmigrasi - dalam hal ini
pengawas bernama Said Isnin – untuk menggarap lahan cadangan seluas 500
Ha di areal yang lebih kering untuk ditanami padi, jagung, karet dan
palawija lainnya. Pada tahun 1958 permohonan tersebut dikabulkan.
Setahun kemudian di tahun 1959, para petani telah berhasil panen
dari lahan tersebut. Jaminan sandang-pangan dari pemerintah setempat
mulai dikurangi hingga tinggal Rp. 70,-/KK/bulan saja.
Di tahun 1960/1961 dibukalah anemer bantalan kereta api DSM yang
melewati lahan tersebut. Mayoritas warga petani juga mengusahakan
bantalan kereta api dari kayu teras yang tidak mempan dibakan.
Pendapatan petani makin mambaik. Tahun 1962 pemerintah menghentikan
jaminan sandang-papan bagi petani.
Tanaman karet yang menginjak tahun ke-5 mulai dideres/dipanen.
Pendapatan petani makin membaik. Pada tahun 1968 mulai terjadi sengketa
antara petani dengan PTPN
III Marbau Selatan. Pihak perkebunan berupaya meluaskan lahan dengan
penguasaan terhadap lahan garapan petani. Upaya penguasaan dilakukan
dengantindak kekerasan dan praktek intimidasi – termasuk tuduhan BTI/PKI
kepada mereka yang tidak mau meyerahkan lahan. Lahan yang diserobot
oleh pihak perkebunan mencapai 160 Ha.
Akibatnya, mayoritas petani meninggalkan Desa Babussalam. Hanya
sejumlah 128 KK saja yang tetap bertahan untuk berjuang atas hak-hak
tanahnya.
Di tahun 1980-an, pihak PTPN III Marbau Selatan kembali melakukan
pengambilan tanah petani secara paksa sebanyak 100 Ha. Para petani
dicap sebagai barisan Komando Jihad (salah satu organisasi pemberontak
islam yang dilarang pada waktu itu) jika tidak menyerahkan kepada pihak
perkebunan.
Akhirnya, pada pertengahan
tahun 2003 ketiga kelompok tani tersebut berkonsolidasi dalam Serikat
Tani Berjuang (StaB) dan berjuang dalam gerakan pengakuan atas lahan
tersebut.
Upaya dialog
dengan PTPN III yang difasilitasi oleh Bupati Labuhan Batu, DPRD Kab.
Labuhan Batu hingga DPRD Sumatera Utara dan Gubernur Sumatera Utara
sudah dilakukan. Namun tidak ada hasil yang menguntungkan bagi para
petani. Menurut PTPN III, kewenangan pembebasan lahan PTPN dari HGU-nya
ada di tangan menteri BUMN.
Dalam
rangka perjuangan tersebut, STAB telah mengirimkan 50 petani sebagai
delegasi untuk berdialog dengan DPR RI pada hari Senin, 23 Agustus 2004
dan Badan Pertanahan Nasional di hari Selasa, 24 Agustus 2004 di
Jakarta.
Berkenaan dengan hal ini, Serikat Tani Nasional bersikap mendukung perjuangan petani dalam Serikat Tani Berjuang Kab. Labuhan
Batu Sumatera Utara dalam perjuangan mencapai keadilan dab
kesejahteraan.
Bahwa perjuangan dengan dialog tidaklah cukup. Dialog tidak akan
berarti jika Serikat Tani Berjuang tidak melancarkan gerakan Reforma
Agraria dengan okupasi/rekliming dan secara de facto MENDUDUKI KEMBALI
lahan 92 Ha dari Kelompok Tani Bukit Perjuangan, 120 Ha dari Kelompok
Tani Suka Damai dan 250 Ha dari Kelompok Tani Sinar Jadi/Babussalam.
BUKAN DIALOG tapi GERAKAN REFORMA AGRARIA.
Gerakan Reforma Agraria juga berjuang untuk melawan premanisme dan
tindak kekerasan/militeristik yang akan maupun telah dilakukan oleh
pihak PTPN III Marbau Selatan.
Serikat Tani Nasional juga menyerukan kepada rakyat tani Indonesia
untuk Lancarkan Gerakan Reforma Agraria [Tanah, Modal dan Teknologi
Modern-Murah-Massal untuk Pertanian Kolektif di bawah Dewan
Rakyat/Tani] dan Gerakan Tani anti-Militerisme dengan kekuatan persatuan
gerakan rakyat.
Persatuan rakyat antara petani, buruh, mahasiswa, rakyat miskin
perkotaan, intelektual, agamawan dan siapa saja yang bersepakat
terhadap perubahan adalah modal utama mewujudkan pemerintahan rakyat
yang sejati : Pemerintahan Persatuan Rakyat/Pemerintahan Rakyat
Miskin.Tanah, Modal, Teknologi yang Moder-Murah-Massal untuk Pertanian
Kolektif di bawah Dewan Tani/Rakyat !!!
Lawan Militerisme, Parasit Ekonomi Rakyat !!! Ketua LSM Dialog Percaya dilubuk hati yang paling dalam Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono pasti masih punya Nurani tolonglah rakyat Bapak ini yang suara mereka turut menyumbangkan kemenagangan Bapak menjadi Presiden duakali berturut turun ,Walau Partai Demokrat hancur tapi kami LSM Dialog Percaya Dihati Bapak Yang Paling Dalam Masih Ada Hati Nurani.Amin !!!
Lawan Militerisme, Parasit Ekonomi Rakyat !!! Ketua LSM Dialog Percaya dilubuk hati yang paling dalam Bapak Presiden Susilo Bambang Yudoyono pasti masih punya Nurani tolonglah rakyat Bapak ini yang suara mereka turut menyumbangkan kemenagangan Bapak menjadi Presiden duakali berturut turun ,Walau Partai Demokrat hancur tapi kami LSM Dialog Percaya Dihati Bapak Yang Paling Dalam Masih Ada Hati Nurani.Amin !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar